Rabu, 16 Mei 2012

Kisah Zaid dan Ubaid




Peluh bercucuran di dahi dua anak kecil kakak beradik. Mereka sedang bekerja menimba air di tengah terik matahari yang panas menyengat, semenjak ayahnya meninggal seminggu yang lalu, mereka rela membanting tulang bekerja kepada seorang Yahudi yang kaya raya tapi kikir dan kejam, demi membantu ibunya.


Mereka terlahir ditengah-tengah kondisi keluarga yang amat miskin. Keduanya berwajah tampan dengan rambutnya yang ikal. Sang adik kondisi tubuhnya lebih lemah dan sakit-sakitan. Wajahnya yang cekung tampak memerah oleh panasnya udara padang pasir di siang dibawah panas terik.

Ubaid sang kakak berhenti menimba dan berkata pada adiknya, ”Zaid, beristirahatlah sejenak, biar aku yang melakukan sendiri.”

Zaid tersenyum di antara wajahnya yang lelah. Dia menggelengkan kepala. ” Nggak ah nanti Tuan kita marah-marah lagi seperti kemarin.”

Ubaid berusaha membujuk adiknya, ”Tuan kita sedang pergi kok. Lagipula kamu kan sudah berkerja keras dari pagi tadi. Ayo beristirahatlah, pekerjaan ini sebentar lagi selesai.”

Akhirnya Zaid mau beristirahat. Dia berteduh dibawah sebatang pohon kurma. Tubuhnya memang selalu sakit-sakitan sejak ia lahir. Untung Ubaid adalah kakak yang baik dan sayang kepadanya. Angin berhembus pelan dan Zaid yang kelelahan itu pun tertidur tanpa terasa.



Tiba-tiba datanglah seorang lelaki gemuk menaiki keledai yang kuat. Namanya Raban, dia seorang Yahudi yang kaya raya. Dialah tuan yang memperkejakan Ubaid dan Zaid. Sifatnya kikir dan jahat, begitu melihat Zaid sedang tertidur, ia langsung naik pitam. Dijewernya telinga Zaid kuat-kuat. ” Jadi kerjamu hanya bermalas-malsan dan tidur saja seharian, hari ini kamu tidak akan dapat upah !”

Zaid kesakitan, melihat pemandangan tersebut Ubaid segera berlari mendekat. ”Jangan sakiti adikku Tuan Raban yang baik,” katanya menghiba

”Dia pemalas, dan pantas aku pukul, kalau begini terus bisa bangkrut aku !” hardik si Raban.

”Kalau Tuan mau memukul, pukullah saya sebagai gantinya.” jawab Ubaid. Tiba-tiba melayanglah tamparan keras di pipi Ubaid. Kemudian Raban mengeluarkan uang dan melemparkan ke tanah. ”Enyahlah kau pemalas !” Mereka memungut uang tersebut dan bergegas pulang.

Zaid terisak-isak. Ia sangat menyesal karena sampai tertidur. Ia kasihan melihat Ubaid, tapi ia lebih menyesal lagi, karena uang yang dibawanya pulang untuk ibunya sangat sedikit. Ah.. andai Ayah mereka belum meninggal, kehidupan mereka tidak akan sesulit ini. Namun mereka masih merasa bangga, karena mereka mempunyai ibu yang sangat bijaksana. Betapapun sedih hatinya melihat nasib anak-anaknya, ia selalu tersenyum dan selalu membuat mereka bahagia, dan tidak bosan-bosannya senantiasa mengingatkan mereka bahwa sesungguhnya Allah selalu bersama orang-orang yang sabar.

Setiap malam tiba mereka merasakan suatu kesepian yang panjang, mereka merasa malam-malam berikutnya pastilah akan berlalu seperti ini terus.

Namun ternyata Allah tidak berlama-lama membiarkan mereka dalam kesedihan. Karena pada suatu malam datanglah tamu yang ternyata Paman Atib, adik kandung ibu mereka. Paman Atib itu seorang pemuda yangg gagah dan terpelajar. Dia menyempatkan singgah untuk menengok kakak dan para keponakannya.

Kedatangan pamannya membawa kebahgiaan tersendiri, persis seperti cahaya bulan yang masuk dari sela-sela jendela butut rumah mereka. Selama beberapa hari mereka tidak perlu bekerja terlalu berat, karena Paman Atib bekerja membantu untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.

Yang membahagiakan mereka berdua, adalah dikala setelah sholat Isya. Karena Paman Atib selalu bercerita tentang Rasulullah. Paman Atib memang pernah mengunjungi Madinah dan beberapa kali bertemu Nabi Muhammad Saw. Ubaid Zaid sangat bahagia sekali jika Pamannya bercerita mengenai Rasulullah.

Saat larut malam ketika semua mahluk terlelap, Zaid kecil terbangun. Sayup-sayup terdengar suara Paman Atib sedang melaksanakan sholat tahajud. Perlahan Zaidpun bangkit dan pergi ke sumur. Dibasuhnya tubuh yang kurus dengan air wudlu. ”Subhanallah,” ucapnya sambil mengagumi langit malam yang gemerlap. Teringat ia akan syair musafir yang pernah lewat hendak menuju Madinah, yang didendangkan dengan penuh rasa cinta.

Yaa... Muhammad...
Ini aku musafir yang terlunta-lunta...
Berjalan jauh arungi batu-batu tandus.
Tertatih-tatih menuju tempatmu berdo’a.

Lihatlah kakiku melepuh.
Rasanya sakit, Yaa...Muhammad...
Kau lihat bajuku koyak dan keringatku kering.
Betapa aku menderita, Ya... Muhammad...

Kuketuk pintu rumahmu dengan rasa malu
Kutakut aku terlalu hina untukmu
Bukalah pintumu untukku Yaa.. Muhammad...
Engkaulah sahabat dan Ayah orang-orang yang menderita.

Bukakan pintu dan kutatap wajahmu, sambil melepas tangis rindu..
Tersenyumlah padaku dan katakan ”Wahai hamba Allah...
Ini adalah rumah kasih sayangmu... Selamat datang dalam genggaman Persaudaraan Iman dan Cinta.

Perlahan Zaid berdiri disamping Paman Atid dan kemudian melakukan sholat Tahajud. Selesai sholat mereka berdua duduk menghadap jendela sambil menikmati cahaya bulan yang mempesona.

”Paman..” panggil Zaid lirih.
Paman Atib menoleh di elusnya punggung keponakkannya itu. ”Ada apa Zaid ?” tanyanya sambil tersenyum.

”Benarkah Paman besok akan pergi ?” tanya Zaid sambil tetap menatap bulan. Paman Atib terdiam sejenak. ” Ya... Zaid, Paman harus pergi...” jawabnya kemudian.
”Pergi kemana ?” tanya Zaid.
”Ke Madinah..” jawab Paman Atib.

Zaid menoleh dan menatap wajah pamannya dalam-dalam. ” Paman akan bertemu Rasulullah?” tanyanya perlahan.
Paman Atib tersenyum dan mengangguk. ”Insya ALLAH...” jawabnya.
”Apakah Rasulullah seorang yang kaya raya, Paman ?” tanya Zaid.

”Rasulullah adalah seorang Nabi, bukan seorang raja, Zaid,” jawab Paman Atib.
”Beliau tidur diatas tikar yang serupa dengan yang kita pakai. Beliau memakai pakaian seperti yang kita pakai. Beliau juga memakan makanan seperti yang kita makan, yaitu beberapa butir kurma dan segelas air. Sesekali beliau minum susu kambing itupun hadiah dari para tetangganya”.

Zaid termenung. Tadinya dia berharap bahwa Nabi akan lebih kaya daripada Raban. Tetapi kini dia tercenung. Karena kekayaan Nabi tidak lebih dari keluarganya sendiri, bagaimana mungkin seorang yang tidak kaya bisa ditaati semua orang ?, bukanlah Raban yang kaya itu tinggal mengatakan sesuatu maka semua keinginannya akan terkabul.

”Kalau Nabi bukan orang kaya, bagaimana Beliau bisa membantu kita, rakyat yang miskin ini, Paman ?” tanya Zaid keheranan.

Paman Atib tersenyum. ”Nabi kita punya kasih sayang, wahai Zaid. Dengan kasih sayang itulah Nabi menolong semua umatnya,” kata Paman Atib dengan lembut. ” Bila beliau punya sedikit kelebihan uang, akan dibagi-bagikannya kepada para fakir miskin. Beliau juga mengajarkan pada orang kaya, agar senantiasa membantu saudara-saudara mereka yang kesusahan. Kasih sayang Nabi tidak terbatas, wahai Zaid. Kasih sayang Nabi meliputi seluruh alam.”

Zaid tercenung. ”Subhanallah...” ucapnya lirih.
”Bila seseorang memberi kasih sayang, ia akan di beri kasih sayang pula oleh Allah dan orang-orang lain,” kata paman Atib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar